Eco-Brick: An Innovation to Save Planet Earth from Plastic Waste

Mutya Pratiwi

Writer
Microsoft Word
This article was officially published in a form of proceeding paper:
Pratiwi, M. (2022). “Efektivitas Eco-brick sebagai Alternatif Bahan Konstruksi Bangunan dalam Upaya Pemanfaatan Sampah Botol Plastik”. Prosiding Persidangan Serumpun Sarjana Muda Malaysia Indonesia (PENAMAN) 2022, Vol. 1, pp. 211-215, available at https://soc.usm.my/images/pdf/PENAMAN/PENAMAN%202022/Prosiding%20Persidangan%20Serumpun%20Sarjana%20Muda%20Malaysia%20Indonesia%20PENAMAN%202022%201.pdf
I first wrote this article for a scientific writing assignment in 2020 about the topic that I was interested in, but the article didn't make it into any digital media/portal. However, I finally got a chance to submit it into a conference with some adjustment so as to comply with the demanded scientific paper format.
Eco-brick: Solusi Alternatif Selamatkan Bumi dari Kepungan Sampah Plastik
Belakangan ini kerap diberitakan tentang siswa-siswi salah satu SMK di Toraja Utara, Sulawesi Selatan, yang berhasil mengubah sampah plastik dengan cara dibakar dan dilelehkan untuk kemudian dijadikan bahan bermanfaat berupa balok-balok (paving block) yang disebut eco-brick. Di bawah ini adalah salah satu liputan DW Indonesia mengenai kegiatan yang dilakukan siswa-siswi SMK tersebut.
Watch on YouTube
Berbagai penelitian yang dilakukan para ilmuwan dan insinyur membuktikan bahwa eco-brick dapat menjadi bahan konstruksi non-struktural bangunan. Namun, bagi orang awam kata eco-brick pasti terdengar asing di telinga. Apa itu eco-brick? Bagaimana awal munculnya ide eco-brick tersebut? Dan bagaimana eco-brick bisa mengurangi sampah plastik di muka bumi ini dengan dampak yang signifikan? Namun, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu timbul pertanyaan mendasar:
Memang sebenarnya seberapa gawat, sih, keberadaan dan jumlah sampah di dunia, khususnya sampah plastik?
Atau, jikalau ingin ditarik lebih ke akarnya, sebenarnya apakah itu sampah dan mengapa hal ini menjadi masalah? Mengacu pada UNSD Glossary of Environment Statistics, sampah (waste) adalah bahan yang bukan produk primer (yaitu, produk yang diproduksi untuk pasar) yang tidak digunakan lagi oleh produsen dalam hal tujuan produksi, transformasi ataupun konsumsi sendiri, dan merupakan bahan yang ingin dibuangnya. Sampah atau limbah dapat dihasilkan selama ekstraksi bahan baku, pengolahan bahan mentah menjadi produk setengah jadi dan produk akhir, konsumsi produk akhir, dan aktivitas manusia lainnya.
Perlu diingat bahwa sejatinya tidak semua sampah akan menjadi masalah dan mengganggu ekosistem dan kehidupan manusia. Namun, bahasan dalam artikel ini lebih berfokus pada solusi alternatif dalam menangani masalah yang ditimbulkan oleh sampah. Sehingga, pengertian sampah di sini dapat dititikberatkan pada sampah yang cenderung bersifat polutan. Menurut Effendi (2003: 196), bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukkan ekosistem tersebut. Polutan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah yang memasuki lingkungan akibat proses alam dan polutan antropogenik yang masuk ke lingkungan akibat aktivitas manusia.
Mayoritas sampah yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia dan menjadi isu yang paling disoroti dunia termasuk ke dalam polutan antropogenik, yakni bahan-bahan yang berasal dari aktivitas sehari-hari manusia. Polutan antropogenik atau sampah yang dihasilkan oleh aktivitas manusia ini tidaklah hanya berupa padatan yang mudah ditemukan sehari-hari. Sampah ini juga bisa berupa cairan maupun gas, misalnya, tumpahan minyak dan limbah pabrik di lautan. Namun, memang yang menjadi fokus perhatian dunia beberapa dekade ini adalah sampah padat. Mengapa? Selain karena sampah padat mengotori secara fisik, sampah padat juga memiliki volume yang cukup besar. Hal ini berdampak kepada semakin sempitnya ruang bagi manusia dan makhluk hidup lain karena termakan oleh volume sampah padat tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seorang insinyur India dari Jayaprakash Narayan College, Mohammed Jalaluddin (2017), sekitar 11% daratan bumi dipenuhi oleh sampah botol plastik.
Seiring dengan perkembangan zaman, urbanisasi, dan kemajuan teknologi, manusia semakin banyak dan semakin mudah mengakses produk-produk yang berpotensi tinggi menghasilkan lebih banyak sampah, misalnya berupa kemasan produk yang pastinya lebih mungkin untuk dibuang dibandingkan untuk dipergunakan kembali. Terlebih lagi, kemasan produk-produk di zaman modern ini tak terlepas dari segala rekayasa teknologi, atau dengan kata lain, merupakan olahan pabrik. Sehingga, sering kali, kemasan-kemasan produk ini, yang pada akhirnya menjadi sampah, sulit untuk mengalami degradasi. Atau, kalaupun dapat terdegradasi, akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Inilah yang sering disebut-sebut sebagai sampah inorganik.
Banyak sampah inorganik yang sangat sulit untuk terdegradasi telah memenuhi dan mengotori lahan dan perairan, termasuk sampah plastik yang menjadi masalah utama dan perhatian dunia di abad ke-21 ini.  Sekitar 1.3 triliun ton sampah padat dihasilkan di tahun 2010 dan diprediksi meningkat 2.2 triliun ton setiap tahunnya pada 2025 (Bhada-Tata dan Hoornweg, 2012). Sampah padat inorganik ini bisa berupa logam, kertas, kemasan, kaca, dan PET. Di antara jenis sampah padat inorganik ini, sampah plastik (dan segala turunannya) menjadi sampah yang paling sulit ditangani dan yang paling gencar untuk dicari solusinya.
Berdasarkan data yang dilansir dari situs Surfers Against Sewage, pada tahun 1950, populasi dunia yang berjumlah 2,5 miliar menghasilkan 1,5 juta ton plastik dan pada 2016, populasi global dengan lebih dari 7 miliar orang menghasilkan lebih dari 320 juta ton plastik. Rata-rata sekitar 8 juta ton plastik dibuang ke laut setiap tahunnya (Jambeck, dkk., 2015: 768-771). Hal ini menunjukkan betapa signifikannya peningkatan sampah plastik yang dihasilkan di seluruh dunia. Selain itu, pada tahun 2014, sekitar 311 ton sampah plastik telah dihasilkan dengan 40% di antaranya adalah kemasan dan 7% adalah PET (Plastics – The facts 2015: An analysis of European plastics production, demand and waste data, 2015).
Jika sudah segawat ini, lalu bagaimana cara mengatasi sampah-sampah yang sulit terdegradasi yang sebegitu melimpahnya?
Bagi negara-negara maju dan kaya, seperti negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), mereka memiliki rata-rata laju recycling atau daur ulang sebesar 34% (Upton, 2015). Dengan upaya daur ulang, sampah plastik bisa dikembalikan fungsinya sehingga kembali bernilai (meskipun rata-rata laju daur ulang tersebut juga masih di bawah yang diharapkan). Di sisi lain, bagaimana dengan di negara-negara berkembang? Sayangnya, kebanyakan negara-negara berkembang tidak mampu untuk melakukan daur ulang seperti halnya negara-negara maju, antara lain karena keterbatasan teknologi. Namun, ini tidak bisa menjadi alasan untuk serta-merta membiarkan sampah plastik memenuhi lahan dan perairan dan terus bertambah setiap tahunnya.
Untuk mengembalikan fungsi dan nilai sampah plastik ini United Nations  melalui UN Environment Programme (2014) merekomendasikan untuk mengumpulkan kembali sampah plastik dan sampah inorganik lain dari daratan dan perairan untuk kemudian didaur ulang atau digunakan sebagai penghasil energi. Namun, dengan permasalahan teknologi daur ulang yang dihadapi negara-negara berkembang yang telah dijelaskan di atas, diperlukan inovasi lain yang lebih mudah dan terjangkau untuk dilakukan, bahkan hanya oleh kelompok kecil maupun individu. Di sinilah mulai muncul ide untuk membuat eco-brick.
Jadi, apa itu eco-brick?
Eco-brick jika diartikan secara awam berarti bata (brick) ramah lingkungan (eco). Eco-brick dapat diartikan sebagai building blocks berbahan dasar plastik yang dibuat dengan cara daur ulang manual. Plastik utama yang digunakan, yaitu PET. Secara sederhana, untuk membuat eco-brick digunakan botol PET bekas sebagai container yang diisi dengan material sampah inorganik lain yang dipadatkan sebagai filler. Sejauh ini, hasil penelitian yang ada hanya menggunakan satu material inorganik sebagai filler untuk masing-masing botol PET (misalnya, tidak mencampur material logam dengan material kertas dalam satu container).
Telah disebutkan bahwa pembuatan eco-brick ini merupakan upaya daur ulang manual. Mengapa? Karena dalam pembuatannya, eco-brick tidak menggunakan teknologi-teknologi canggih dan terotomatisasi. Untuk membuat eco-brick hanya membutuhkan material sampah dan tenaga sumber daya manusia. Maka dari itu, pembuatan eco-brick ini lebih banyak memanfaatkan adanya pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas-komunitas yang ada di seluruh dunia.
Tetapi, apa itu PET?
Sebelum membahas bagaimana cara membuat eco-brick dan bagaimana kualitas eco-brick hingga bisa dijadikan bahan konstruksi bangunan, sejak awal telah disebut-sebut bahan berupa botol PET, nah, apa itu PET? PET atau Polyethylene terephthalate (biasa pula disebut PETE) merupakan bahan plastik yang berasal dari senyawa polyester turunan olahan minyak dengan rumus molekul C10H8O4. PET adalah salah satu jenis plastik yang paling banyak digunakan mulai dari kemasan minuman dan makanan hingga selang oksigen dan implantasi dalam dunia kedokteran. Hal yang menjadikan PET ideal untuk berbagai kegunaan, antara lain karena PET tahan panas; tahan asam, basa, berbagai larutan, minyak, lemak; transparan; ringan; dan kuat (Jalaluddin, 2017: 1).
Karena plastik PET dan sebagian besar jenis plastik lainnya berasal dari hasil olahan minyak yang notabene adalah bahan yang sulit larut, maka plastik sangat sulit untuk terdegradasi bahkan bisa membutuhkan waktu hingga 300-500an tahun. Konsekuensi lain yang timbul akibat sifat-sifat yang dimiliki PET ini, yaitu sulitnya mendaur ulang PET. Bukannya PET tidak bisa didaur ulang, tetapi untuk mendaur ulang PET dan jenis plastik lainnya dibutuhkan jauh lebih banyak material mentah lain hingga bisa menjadi barang baru. Tentu hal ini kurang efisien apalagi ditambah fakta bahwa sampah plastik terus bertambah setiap tahunnya.
Lalu, bagaimana cara membuat eco-brick dari bahan PET tersebut?
Pada tahun 2017, Federico Antico bersama rekan-rekan sesama insinyurnya telah melakukan penelitian dengan membuat eco-brick sederhana menggunakan bahan-bahan dari sampah yang tersedia dan juga memanfaatkan tenaga dari masyarakat sekitar. Penelitian yang dilakukan di Santiago dan Vina del Mar, Chile, ini menunjukkan bahwa sampah inorganik yang paling banyak dikumpulkan masyarakat terdiri atas kertas dan karton, tetrapack, logam, dan PET. Bahan-bahan inilah yang masing-masing akan digunakan sebagai filler untuk membuat eco-brick. Masing-masing filler dipotong-potong sama besar dengan ukuran maksimum 5 cm yang kemudian diisikan ke dalam botol PET 600 cm3 sebagai container.
Berbeda dengan eco-brick yang dibuat oleh Antico, dkk., Jalaluddin (2017) membuat eco-brick yang benar-benar menyerupai bata yang sesungguhnya, hanya saja bahan utamanya diganti dengan PET. Pada penelitian ini, untuk membuat eco-brick selain digunakannya PET, juga digunakan material-material konstruksi seperti tanah, semen, nilon, dan air. Jika dibandingkan dengan pembuatan bata konvensional, eco-brick jauh lebih murah. Hal ini dikarenakan berkurangnya jumlah material-material dasar pembentuk bata yang diperlukan secara signifikan. Selain mengurangi budget, eco-brick juga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari kegiatan produksi semen.
Jika kembali ke awal pembukaan artikel ini, dapat dilihat bahwa cara pembuatan paving block alias eco-brick yang dilakukan oleh siswa-siswi SMK di Toraja Utara, Sulawesi Selatan, pun tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pada penelitian-penelitian di atas. Prinsip yang digunakan hampir sama dan menggunakan alat-alat sederhana yang mudah ditemukan.
Bagaimana eco-brick bisa disejajarkan atau bahkan menggantikan bahan konstruksi konvensional?
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Antico, dkk. (2017) adalah menguji secara fisik dan mekanik melalui serangkaian tes bagaimana kepadatan, stabilitas volume, modulus elastik, dan kapasitas recovery dari ecobrick yang telah dibuat. Hasil pengujian ini kemudian dibandingkan dengan salah satu bahan konstruksi yang umum digunakan, yaitu EPS (Expanded Polystyrene). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eco-brick memiliki kepadatan dan modulus elastik yang setara dengan EPS. Selain itu, tingkat deformasi yang berada di temperatur yang sangat tinggi membuat eco-brick dapat terhindar dari cracking (retakan). Secara keseluruhan, eco-brick dapat dikatakan cukup potensial untuk menggantikan bahan konstruksi konvensional, dalam kasus ini, yaitu EPS.
Sumber: Jalaluddin (2017)
Sumber: Jalaluddin (2017)
Terlihat bahwa konstruksi dinding dengan eco-brick mengeluarkan biaya yang jauh lebih murah; memerlukan tenaga pekerja yang jauh lebih sedikit; memerlukan jauh lebih sedikit air; serta jauh lebih sedikit menghasilkan reruntuhan dan sisa-sisa konstruksi lain.
Salah satu contoh konstruksi bangunan eco-ARC oleh Arthur Huang (Taipei) dengan memanfaatkan 1.8 juta botol plastik. Sumber: Jalaluddin (2017)
Salah satu contoh konstruksi bangunan eco-ARC oleh Arthur Huang (Taipei) dengan memanfaatkan 1.8 juta botol plastik. Sumber: Jalaluddin (2017)
Eco-brick tidak hanya bisa digunakan sebagai konstruksi bangunan, namun eco-brick juga dapat digunakan untuk konstruksi jalan. Sifat eco-brick yang tahan air, tahan panas (stabil), dan sistem insulasi listrik yang baik menjadi suatu keuntungan tersendiri karena hal ini mengindikasikan bahwa eco-brick tidak memerlukan banyak perbaikan maupun pemeliharaan.
Mulailah dari langkah kecil.
Tak perlu berpikir terlalu jauh dan kompleks seperti membuat konstruksi bangunan maupun jalanan, mulailah membuat eco-brick yang dapat dimanfaatkan untuk mempercantik halaman rumah maupun taman. Seperti yang telah dilakukan oleh siswa-siswi SMK di Toraja Utara yang telah diulas sebelumnya, mereka membuat eco-brick yang berguna sebagai paving block yang bermanfaat pula untuk mempercantik halaman sekolah mereka sehingga menjadi lebih teratur.
Mulailah membuat eco-brick sederhana, baik seperti yang dibuat pada penelitian Antico, dkk. (2017) maupun seperti yang dibuat siswa-siswi SMK di Toraja Utara, dengan memanfaatkan bahan dan alat yang mudah ditemukan di rumah atau lingkungan sekitar. Belakangan ini, komunitas peduli lingkungan pun sudah mulai gencar mengadakan pelatihan untuk membuat eco-brick, salah satunya adalah aktivitas “Belajar Bikin Ecobricks” yang diselenggarakan oleh Jakarta Eco Project berkolaborasi dengan Indorelawan.org. Komunitas ini membuka kesempatan kepada khalayak umum untuk menjadi relawan peduli lingkungan dengan mengikuti aktivitas pembuatan eco-brick.
Sumber: Indorelawan.org (2020), https://www.indorelawan.org/activity/5e3bad7b877eb40d8df5b53a
Sumber: Indorelawan.org (2020), https://www.indorelawan.org/activity/5e3bad7b877eb40d8df5b53a
Dengan solusi alternatif berupa eco-brick ini, jika semakin banyak yang mengadopsi, selain secara langsung dapat mengurangi jumlah sampah plastik secara signifikan, upaya ini juga dapat mengurangi polusi udara, tanah, maupun air yang sangat memengaruhi kesehatan manusia maupun keseimbangan ekosistem. Lebih jauh lagi, eco-brick ini merupakan inovasi prospektif dan cukup menjanjikan karena dapat meningkatkan ekonomi masyarakat (dengan banyaknya komunitas yang mengadopsi pembuatan eco-brick ini) dan harapannya dapat meningkatkan ekonomi global apabila semakin banyak konstruksi bangunan dan jalanan berbasis ramah lingkungan dengan biaya yang jauh lebih murah seperti eco-brick ini.
Jadi, bagaimana? Tertarik untuk membuat eco-brick dan menyelamatkan bumi dari kepungan sampah plastik?
 
Referensi:
Antico, F. C., dkk. 2017. “Eco-bricks: a sustainable for construction materials.” Journal of Construction, Vol. 16, No. 3, hlm. 519-526, 19 Februari 2020, diakses dari http://revistadelaconstruccion.uc.cl/index.php/rdlc/article/view/1049
“Belajar Bikin Ecobricks.” Indorelawan.org. 2019. 20 Februari 2020, dari https://www.indorelawan.org/activity/5e3bad7b877eb40d8df5b53a
Bhada-Tata, P. dan D. A. Hoornweg. 2012. “What a waste?: a global review of solid waste management.” The World Bank, Vol. 15, 19 Februari 2020, diakses dari http://documents.worldbank.org/curated/en/302341468126264791/pdf/68135-REVISED-What-a-Waste-2012-Final-updated.pdf
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaam Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
“Environment Glossary.” United Nation Statistics Division. 2016. 19 Februari 2020, dari https://unstats.un.org/unsd/environmentgl/gesform.asp?getitem=1178
Jalaluddin, Mohammed. 2017. “Use of Plastic Waste in Civil Constructions and Innovative Decorative Material (Eco-Friendly).” MOJ Civil Engineering, Vol. 3, No. 5, hlm. 1-10.
Jambeck, J. R., dkk. 2015. “Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean.” Science, vol. 347, no. 6223, hlm. 768–771, doi:10.1126/science.1260352.
“Plastic Pollution - Facts and Figures.” Surfers Against Sewage. 19 Februari 2020, dari https://www.sas.org.uk/our-work/plastic-pollution/plastic-pollution-facts-figures/
“Plastics – The facts 2015: An analysis of European plastics production, demand and waste data.” Plastics Europe. 2015. 19 Februari 2020, dari www.plasticseurope.org 
“Sampah Plastik Diubang Jadi Paving Block Kreasi Siswa Toraja.” Youtube. 24 Januari 2020. 19 Februari 2020, dari https://www.youtube.com/watch?v=uj7H_-qHcDE
“UNEP 2014 Annual Report”. UN Environment Programme. 2014. 19 Februari 2020, dari https://www.unenvironment.org/resources/annual-report/unep-2014-annual-report 
Upton, S. 2015. Environment at a Glance 2015: OECD Indicators. Paris: OECD Publishing. Diakses dari www.oecd.org
 

2020

Partner With Mutya
View Services

More Projects by Mutya